Pagi itu, Direktur Jenderal Pelayanan Publik di sebuah Kementerian duduk termangu di ruang kerjanya. Email dari Kemenpan RB baru saja masuk, berisi hasil evaluasi kinerja pelayanan publik yang mengecewakan. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, anggaran digitalisasi sudah mencapai puluhan miliar rupiah. Aplikasi pelayanan online sudah diluncurkan, infrastruktur cloud sudah dibangun, bahkan konsultan internasional sudah didatangkan.
"Kenapa hasilnya masih stagnan?" gumamnya sambil menatap grafik kepuasan masyarakat yang masih berkutat di angka 6.5 dari 10.
Cerita serupa terdengar di berbagai sudut Indonesia. Dari Aceh sampai Papua, banyak institusi pemerintah mengalami frustrasi yang sama. Mereka sudah berinvestasi besar dalam teknologi, tapi transformasi digital yang diharapkan tidak kunjung terwujud. Yang mereka tidak sadari adalah ada fondasi fundamental yang terlewat: kematangan proses organisasi.
Inilah mengapa Business Process Maturity Model (BPMM) menjadi kunci yang hilang dalam puzzle transformasi pemerintahan digital Indonesia. BPMM bukan sekadar alat ukur atau framework teori. Dia adalah peta jalan yang menunjukkan dengan jelas dimana posisi institusi saat ini, apa yang perlu diperbaiki, dan bagaimana mencapai tingkat kematangan yang diperlukan untuk kesuksesan transformasi digital yang berkelanjutan.
Jebakan "Kesenjangan Kematangan" yang Menghadang Institusi Pemerintah
Ketika kita menelisik lebih dalam mengapa banyak inisiatif pemerintahan digital berakhir mengecewakan, polanya selalu sama. Institusi-institusi tersebut terjebak dalam apa yang oleh para ahli BPMM disebut sebagai "kesenjangan kematangan proses" – jurang pemisah antara Level 2 dan Level 3 yang menjadi kuburan bagi sebagian besar upaya transformasi digital.
Bayangkan sebuah Pemerintah Daerah yang sedang ambisius membangun sistem pelayanan terintegrasi. Di Level 2, beberapa dinas sudah mulai tertib. Dinas Kependudukan punya SOP yang rapi, aplikasi e-KTP berjalan lancar. Dinas Perdagangan juga sudah sistematis mengelola perizinan usaha. Masing-masing unit bekerja dengan relatif konsisten dalam lingkup mereka sendiri.
Masalahnya muncul ketika ada layanan yang membutuhkan koordinasi lintas dinas. Seorang pengusaha yang ingin membuka restoran, misalnya, harus mengurus izin usaha di Dinas Perdagangan, sertifikat halal di Dinas Syariah, izin lingkungan di Dinas Lingkungan Hidup, dan izin bangunan di Dinas PUPR. Setiap dinas punya prosedur sendiri-sendiri. Formulir berbeda-beda, persyaratan tidak terstandar, bahkan sistem komputer tidak bisa saling berkomunikasi.
Ketika kepala daerah memutuskan untuk "digitalisasi menyeluruh," yang terjadi justru pemburukan situasi. Proses yang sudah terpecah-pecah itu kini ditambah dengan kompleksitas teknologi. Pengusaha tadi sekarang harus mengakses lima website berbeda, dengan akun terpisah, dan tetap harus bolak-balik antar dinas untuk koordinasi. Teknologi yang seharusnya memudahkan malah menambah kerumitan.
Ini yang terjadi ketika transformasi digital dilakukan tanpa fondasi yang matang. BPMM Level 3 memecahkan masalah ini dengan memaksa institusi untuk terlebih dahulu menyatukan praktik terbaik dari semua unit, menciptakan proses standar yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan spesifik, dan baru kemudian menggunakan teknologi untuk mempercepat proses yang sudah optimal.
Lima Tingkat Kematangan BPMM: Cermin Realitas Pemerintahan Kita
BPMM menggunakan lima tingkat kematangan yang memberikan gambaran jelas tentang perjalanan transformasi. Mari kita lihat bagaimana setiap tingkat ini mencerminkan kondisi nyata di institusi pemerintah Indonesia.
Tingkat 1: Serba Dadakan
Di tingkat ini, semua dilakukan secara tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi. Setiap pegawai menyelesaikan tugas berdasarkan pengalaman pribadi atau "kebiasaan turun temurun." Dokumentasi standar nyaris tidak ada, dan kualitas hasil sangat bergantung pada siapa yang mengerjakannya.
Pernahkah Anda mengurus dokumen di kelurahan dan mendapati bahwa Pak RT menyelesaikan surat keterangan dalam 2 hari, sementara Bu RT di sebelah butuh seminggu untuk dokumen yang sama? Atau mengalami situasi dimana petugas A bilang persyaratannya cukup fotokopi KTP, tapi petugas B minta KTP asli plus surat pengantar? Itulah gambaran Tingkat 1.
Yang memprihatinkan, tidak sedikit instansi pemerintah yang masih beroperasi di tingkat ini. SOP mungkin ada, tapi tidak dipatuhi secara konsisten. Sistem monitoring praktis tidak ada. Pengetahuan institusional tersimpan dalam "kepala senior yang sudah lama bekerja di sini." Ketika mereka pensiun, ilmu dan pengalaman berpuluh tahun ikut pergi bersama mereka.
Tingkat 2: Mulai Tertata dalam Lingkup Terbatas
Di tingkat ini, masing-masing unit kerja mulai memiliki prosedur yang relatif konsisten secara internal. Management mulai memastikan bahwa pekerjaan bisa dilakukan secara berulang dan memenuhi target unit tersebut. Tapi unit yang berbeda masih menggunakan prosedur yang berbeda untuk pekerjaan serupa.
Contohnya, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan sama-sama mengelola program bantuan untuk masyarakat kurang mampu. Secara internal, masing-masing dinas sudah tertib. Dinas Pendidikan punya database siswa yang rapi, prosedur verifikasi yang jelas, dan sistem pencairan yang teratur. Dinas Kesehatan juga demikian dengan program bantuan kesehatannya.
Masalahnya, kedua dinas tidak menggunakan kriteria yang sama untuk menentukan "kurang mampu." Database mereka terpisah, sehingga bisa saja satu keluarga mendapat bantuan ganda, sementara keluarga lain yang lebih membutuhkan justru tidak terjangkau. Ketika ada program lintas sektor, koordinasi menjadi rumit karena tidak ada standar bersama.
Tingkat 3: Terstandarisasi - Kunci Kesuksesan Pemerintahan Digital
Inilah tingkat yang sangat penting untuk kesuksesan pemerintahan digital. Di sini, proses standar disintesis dari praktik terbaik yang ada di berbagai unit kerja, dengan panduan penyesuaian yang memungkinkan customization sesuai kebutuhan bisnis yang berbeda.
Bayangkan jika semua dinas di suatu pemerintah kota menggunakan kerangka pengadaan yang sama, dengan variasi sesuai jenis barang atau jasa yang diprocure. Ada formulir standar, matriks persetujuan yang seragam, dan sistem pelacakan yang konsisten namun fleksibel. Pengusaha yang ingin berbisnis dengan pemerintah tidak perlu lagi mempelajari prosedur yang berbeda-beda di setiap dinas.
Ini adalah tingkat minimum yang diperlukan untuk implementasi pemerintahan digital yang sukses. Tanpa mencapai Tingkat 3, teknologi hanya akan mempercepat kekacauan, bukan menyelesaikan masalah.
Tingkat 4: Dapat Diprediksi Berdasarkan Data
Tingkat ini memanfaatkan kemampuan yang dibangun oleh proses standar dan memberikan umpan balik berbasis data kepada unit-unit kerja. Kinerja proses dikelola secara statistik untuk memahami dan mengendalikan variasi sehingga hasilnya dapat diprediksi.
Contoh nyatanya adalah sistem perizinan investasi yang dapat memprediksi waktu penyelesaian berdasarkan skor kompleksitas dokumen, data kinerja historis, dan beban kerja saat ini. Management dapat mengalokasikan sumber daya secara optimal dan memberikan estimasi yang akurat kepada investor.
"Pak, untuk izin dengan kompleksitas seperti ini, berdasarkan data historis dan beban kerja tim saat ini, estimasinya 12 hari kerja. Jika ada dokumen tambahan yang diperlukan, sistem akan otomatis memberitahu dan menyesuaikan estimasi."
Tingkat transparansi dan prediktabilitas seperti ini sangat meningkatkan kepercayaan publik dan memudahkan perencanaan bisnis.
Tingkat 5: Selalu Berinovasi dan Mengoptimalkan
Tingkat tertinggi ini fokus pada perbaikan berkelanjutan dan inovasi. Organisasi secara proaktif mencari cara untuk menutup kesenjangan antara kemampuan saat ini dengan kemampuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan bisnis.
Singapore's GovTech adalah contoh yang baik. Mereka tidak hanya responsif terhadap kebutuhan masyarakat, tapi proaktif dalam mengantisipasi dan mengatasi tantangan masa depan. Mereka terus-menerus menggunakan AI, machine learning, dan analitik canggih untuk mengoptimalkan layanan publik. Ketika pandemi COVID-19 melanda, mereka dengan cepat mengembangkan aplikasi TraceTogether dan SafeEntry karena sudah memiliki fondasi inovasi yang kuat.
Mengukur Kematangan: Fondasi Sebelum Melangkah ke Digital
Salah satu nilai terbesar BPMM adalah kemampuannya memberikan penilaian objektif tentang kesiapan institusi untuk transformasi digital. Berbeda dengan penilaian teknologi yang fokus pada infrastruktur atau aplikasi, penilaian BPMM mengevaluasi kemampuan organisasi fundamental yang menentukan sukses tidaknya inisiatif digital.
Mari kita ikuti kisah nyata bagaimana penilaian kematangan proses mengubah arah transformasi digital di sebuah instansi.
Gambaran Penerapan BPMM : Kisah Pemerintah Kota yang Hampir Tersesat
Kota Sejahtera (nama disamarkan) dengan populasi 1,2 juta jiwa memiliki visi menjadi smart city dalam lima tahun. Walikota yang baru terpilih sangat berkomitmen, anggaran Rp 150 miliar sudah dialokasikan, dan vendor internasional sudah dipilih untuk implementasi.
Setelah 18 bulan berjalan, hasilnya mengecewakan. Tingkat adopsi masyarakat hanya 23%, resistensi pegawai tinggi, dan banyak sistem yang tidak dimanfaatkan. Yang lebih memprihatinkan, kepuasan masyarakat terhadap layanan digital malah lebih rendah daripada layanan manual.
Konsultan yang dipanggil kemudian melakukan penilaian kematangan BPMM secara menyeluruh. Hasilnya mengejutkan: Pemkot Sejahtera masih berada di Tingkat 1-2 untuk sebagian besar proses kritisnya.
Standardisasi Proses (Tingkat 1): Lima belas dinas dan badan memiliki prosedur yang berbeda untuk layanan serupa. Tidak ada arsitektur proses enterprise atau prosedur operasi standar yang koheren.
Pengelolaan Kinerja (Tingkat 1-2): Masing-masing unit memiliki indikator kinerja sendiri yang sering bertentangan. Tidak ada metrik proses end-to-end atau pengukuran perjalanan layanan masyarakat.
Koordinasi Lintas Fungsi (Tingkat 2): Setiap dinas bekerja dalam silo. Integrasi antar sistem minimal, dan masyarakat harus berinteraksi dengan berbagai unit untuk mendapatkan layanan yang komprehensif.
Peta Jalan Transformasi Berbasis BPMM
Berdasarkan hasil penilaian, peta jalan transformasi diubah total dengan BPMM sebagai fondasi:
Fase 1 (6 bulan): Transisi Tingkat 2 ke Tingkat 3
Fokus pada standardisasi proses dan integrasi lintas fungsi. Sebelum membangun teknologi baru, semua proses layanan publik dipetakan dan distandarisasi menggunakan kerangka kerja bersama.
Tim mengadakan workshop lintas fungsi untuk menyintesis praktik terbaik, mengembangkan template proses standar dengan panduan penyesuaian, dan melakukan implementasi pilot di tiga layanan prioritas dengan dampak tinggi bagi masyarakat.
Yang menarik, dalam workshop pemetaan proses ini mulai terungkap hal-hal yang selama ini tidak disadari. Ternyata ada empat tahapan yang sebenarnya bisa dijalankan secara bersamaan, bukan berurutan. Ada tiga pemeriksaan dokumen yang berulang – dokumen yang sama diperiksa oleh tiga unit berbeda untuk hal yang sama. Ada juga dua tahapan yang sebenarnya tidak menambah nilai apa pun, hanya ada karena "sudah begitu dari dulu."
Fase 2 (6 bulan): Implementasi Teknologi dengan Fondasi Tingkat 3
Baru setelah proses distandarisasi, teknologi diimplementasikan untuk mempercepat proses yang sudah optimal.
Platform digital dikembangkan berdasarkan proses yang sudah distandarisasi, arsitektur integrasi yang mendukung perjalanan layanan masyarakat dari ujung ke ujung, kerangka kerja tata kelola data untuk berbagi data lintas unit, dan dashboard kinerja dengan metrik berbasis proses.
Fase 3 (6 bulan): Evolusi Tingkat 3 ke Tingkat 4
Fokus pada optimalisasi proses berbasis data dan kemampuan prediktif.
Analitik canggih untuk monitoring kinerja proses, pemodelan prediktif untuk alokasi sumber daya dan perencanaan layanan, kerangka kerja perbaikan berkelanjutan dengan tinjauan proses reguler, dan integrasi umpan balik masyarakat untuk peningkatan proses.
Hasil Transformasi dengan Pendekatan BPMM
Setelah 18 bulan implementasi dengan fondasi BPMM, hasilnya sangat mengesankan:
Peningkatan Kinerja Proses:
- Waktu rata-rata penyelesaian layanan turun 52% (dari 12,3 hari menjadi 5,9 hari)
- Variasi proses turun 67% (standardisasi mengurangi ketidakpastian)
- Efisiensi koordinasi lintas unit naik 78%
- Tingkat kesalahan dalam penyelesaian layanan turun 84%
Adopsi Digital dan Pengalaman Pengguna:
- Tingkat adopsi masyarakat naik menjadi 76% (dari 23% sebelumnya)
- Skor kepuasan layanan digital 8,1/10 (vs 6,8/10 untuk layanan manual)
- Kepuasan pegawai terhadap alat digital naik menjadi 7,8/10
- Tingkat keluhan turun 89%
Yang paling penting: keberlanjutan. Karena transformasi dibangun di atas fondasi proses yang matang, perbaikan dapat dipertahankan bahkan ketika ada pergantian kepemimpinan atau personel.
Integrasi BPMM dengan Kerangka Kerja Pemerintahan Digital Indonesia
Salah satu kekuatan BPMM adalah kompatibilitasnya dengan kerangka kerja yang sudah ada di pemerintahan Indonesia. BPMM tidak menggantikan SPBE atau kerangka kerja lain, tapi memperkuat implementasinya.
Keselarasan dengan Kerangka SPBE
SPBE memiliki 47 indikator yang diukur dalam empat domain. BPMM dapat secara signifikan meningkatkan kinerja di semua domain ini:
Domain Layanan SPBE (bobot 40%): Kematangan BPMM Tingkat 3 ke atas memastikan bahwa proses layanan sudah distandarisasi dan optimal sebelum digitalisasi. Ini menghasilkan pengalaman pengguna yang lebih baik dan tingkat adopsi yang lebih tinggi.
Domain Manajemen SPBE (bobot 25%): BPMM Tingkat 4 ke atas menyediakan fondasi untuk manajemen risiko, monitoring kinerja, dan perbaikan berkelanjutan yang menjadi persyaratan kunci di domain ini.
Domain Tata Kelola SPBE (bobot 20%): Penekanan BPMM pada koordinasi lintas fungsi dan standardisasi secara langsung mendukung persyaratan tata kelola.
Integrasi dengan Satu Data Indonesia
Inisiatif Satu Data Indonesia membutuhkan tingkat kematangan proses yang tinggi untuk implementasi yang efektif. BPMM Tingkat 3 ke atas memastikan bahwa:
- Proses pengumpulan data distandarisasi di seluruh institusi
- Manajemen kualitas data sistematis dan konsisten
- Protokol berbagi data jelas dan dapat ditegakkan
- Kerangka kerja tata kelola data dapat diimplementasikan secara efektif
Mengukur Dampak: Nilai Bisnis dari Implementasi BPMM
Salah satu tantangan dalam adopsi BPMM adalah menunjukkan nilai investasi yang nyata, terutama dalam konteks sektor publik dimana metrik keuangan tradisional tidak selalu berlaku.
Dampak Operasional Langsung
Penelitian menunjukkan bahwa organisasi dengan tingkat kematangan proses yang lebih tinggi memiliki kinerja operasional yang secara signifikan lebih baik. Dalam konteks pemerintah, ini berarti:
- Pengurangan 30-50% dalam waktu pemrosesan layanan publik
- Penurunan 40-60% dalam tingkat kesalahan dan pengerjaan ulang
- Peningkatan 25-35% dalam pemanfaatan sumber daya
- Pengurangan 20-30% dalam biaya operasional melalui optimalisasi proses
Peningkatan Kualitas Layanan
Kematangan proses yang lebih tinggi berkorelasi langsung dengan kualitas layanan yang lebih baik:
- Peningkatan 25-40% dalam skor kepuasan masyarakat
- Pengurangan 50-70% dalam tingkat keluhan
- Peningkatan 35-45% dalam tingkat penyelesaian sekali datang
- Peningkatan 30-50% dalam konsistensi layanan di berbagai unit
Manfaat Organisasi Strategis
Organisasi dengan proses yang matang memiliki tingkat keberhasilan yang secara signifikan lebih tinggi dalam inisiatif transformasi digital:
- Tiga kali lebih tinggi kemungkinan keberhasilan implementasi teknologi
- 50% lebih cepat time-to-value untuk inisiatif digital
- 40% lebih rendah biaya implementasi karena optimalisasi proses
- 60% lebih tinggi tingkat adopsi pengguna untuk layanan digital
Mengatasi Tantangan Implementasi
Implementasi BPMM di sektor pemerintah menghadapi tantangan unik yang memerlukan pendekatan khusus.
Resistensi Budaya
Budaya pemerintah sering kali resisten terhadap standardisasi dan pengukuran, terutama jika dipersepsikan sebagai micromanaging atau hilangnya otonomi.
Solusinya: Posisikan BPMM sebagai alat pemberdayaan yang memberikan kejelasan dan dukungan, bukan mekanisme kontrol. Tekankan manfaat untuk pegawai individual – mengurangi ambiguitas, ekspektasi yang lebih jelas, sistem dukungan yang lebih baik.
Mulai dengan adopsi sukarela di unit yang antusias. Tunjukkan kemenangan cepat dan manfaat nyata. Libatkan pegawai dalam desain dan perbaikan proses. Berikan pelatihan dan dukungan yang memadai selama transisi.
Keterbatasan Sumber Daya
Institusi pemerintah sering menghadapi kendala anggaran dan sumber daya yang membatasi investasi dalam perbaikan proses.
Solusinya: Tunjukkan nilai investasi dengan proyek pilot yang menunjukkan hasil nyata. Gunakan pendekatan bertahap yang menyebarkan biaya dari waktu ke waktu dan menghasilkan manfaat yang dapat diinvestasikan kembali.
Mulai dengan perbaikan berbiaya rendah dan berdampak tinggi. Manfaatkan sumber daya dan kemampuan yang ada. Cari kemitraan dengan institusi lain untuk berbagi biaya.
Masa Depan BPMM dalam Pemerintahan Digital Indonesia
Ke depan, BPMM akan menjadi semakin penting sebagai fondasi untuk kemampuan pemerintahan digital yang canggih.
Integrasi dengan Teknologi Berkembang
Kecerdasan Buatan dan Machine Learning: Implementasi AI/ML membutuhkan proses yang matang dan terstandarisasi untuk penerapan yang efektif. BPMM Tingkat 4 ke atas menyediakan kualitas data dan konsistensi proses yang diperlukan untuk sistem AI.
Otomatisasi Proses Robotik: Otomatisasi paling efektif ketika diterapkan pada proses yang sudah distandarisasi dan terdokumentasi dengan baik. BPMM memberikan fondasi untuk mengidentifikasi peluang otomatisasi yang optimal.
Integrasi Ekosistem
Kerja Sama Regional: Inisiatif integrasi ASEAN dan regional membutuhkan tingkat kematangan proses yang kompatibel di seluruh negara peserta. BPMM menyediakan kerangka kerja bersama untuk kolaborasi regional.
Kemitraan Swasta: Kemitraan publik-swasta membutuhkan tingkat kematangan proses yang kompatibel untuk kolaborasi yang efektif. BPMM membantu institusi pemerintah menyejajarkan kecanggihan proses sektor swasta.
Kesimpulan: BPMM sebagai Pengubah Permainan
Kembali ke cerita Direktur Jenderal di awal artikel. Setelah menerapkan pendekatan berbasis BPMM, transformasi digital mereka berubah drastis. Alih-alih fokus pada penerapan teknologi, mereka fokus pada membangun kematangan proses. Hasil setelah 24 bulan:
- Kepuasan masyarakat naik dari 6,5 menjadi 8,4
- Waktu pemrosesan layanan prioritas turun rata-rata 58%
- Tingkat adopsi layanan digital mencapai 82%
- Kepuasan pegawai terhadap alat digital naik menjadi 8,1/10
- Peningkatan efisiensi operasional 34% dengan pengurangan biaya 27%
Yang paling penting: keberlanjutan. Perbaikan ini dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan karena dibangun di atas fondasi yang solid.
BPMM bukan sekadar kerangka kerja konsultan atau alat ukur. Dia adalah pendekatan sistematis untuk membangun kemampuan organisasi yang diperlukan untuk kesuksesan pemerintahan digital. Tanpa fondasi kematangan proses yang memadai, investasi teknologi hanya akan menghasilkan ladang digital yang mahal namun tidak produktif.
Untuk institusi pemerintah yang serius tentang transformasi digital, investasi dalam kemampuan BPMM adalah langkah pertama yang kritis. Bukan karena sedang tren atau direkomendasikan vendor, tapi karena dia mengatasi persyaratan fundamental untuk perubahan organisasi yang berkelanjutan.
Pemerintahan digital yang benar-benar efektif bukan tentang memiliki teknologi terkini, tapi tentang memiliki kemampuan organisasi yang matang untuk memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. BPMM menyediakan peta jalan untuk membangun kemampuan tersebut dengan pendekatan yang sistematis, terukur, dan berkelanjutan.
Siap memulai perjalanan menuju pemerintahan digital yang matang? Yang dimulai dari keunggulan proses, diperkuat dengan pembangunan kemampuan organisasi, dan menghasilkan transformasi yang benar-benar bermakna untuk masyarakat yang Anda layani.
Daftar Pustaka
Quixy. (2025, March 13). Ultimate Guide to Business Process Maturity Model. Retrieved from https://quixy.com/blog/business-process-maturity-model/
LinkedIn. (2024, May 8). Process Maturity Assessment for Digital Transformation. Retrieved from https://www.linkedin.com/pulse/process-maturity-assessment-digital-transformation-7k5af
LinkedIn. (2024, July 28). Driving Digital Transformation in Government Services: The Power of BPM, ECM, CCM, and AI-Driven Innovation. Retrieved from https://www.linkedin.com/pulse/driving-digital-transformation-government-services-power-bhardwaj-r140c
Trainning Education. Business Process Maturity Model (BPMM), v1.0 [PDF]. Retrieved from https://www.trainning.com.br/download/08-06-01.pdf
Veritis. (2025, June 11). The Digital Transformation Maturity Model Assess Business Growth. Retrieved from https://www.veritis.com/blog/how-digital-transformation-maturity-models-help-organizations-scale-their-digital-efforts/
Comidor. (2022, March 7). Digital Transformation in the Public Sector. Retrieved from https://www.comidor.com/blog/business-process-management/digital-transformation-bpm-public-sector/
Taylor & Francis Online. (2024, December 2). Exploring the Limitations of Business Process Maturity Models. Retrieved from https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10580530.2024.2332210
Mendix. (2024, March 7). Assess Your Digital Maturity for Successful Digital Transformation. Retrieved from https://www.mendix.com/blog/assess-your-digital-maturity-for-successful-digital-transformation/
Government of Canada Digital Service. (2024, November 5). Measuring Progress: A Product Maturity Model for Digital Government. Retrieved from https://digital.canada.ca/2024/11/05/measuring-progress-a-product-maturity-model-for-digital-government/
Signavio. (2021, June 8). How Business Process Maturity Models Help Your Initiative Succeed. Retrieved from https://www.signavio.com/post/business-process-maturity-models/
University of Surabaya Repository. The Digital Transformation Self-Assessment Maturity Model (DX-SAMM) [PDF]. Retrieved from https://repository.um-surabaya.ac.id/10033/2/2._Procedia_Computer_Assessing.pdf
OECD. (2022). Digital Transformation Maturity Model [PDF]. Retrieved from https://www.oecd.org/content/dam/oecd/en/topics/policy-issues/tax-administration/digital-transformation-maturity-model.pdf